Menuju Proyek 35.000 Megawatt

Sumber: http://us.images.detik.com/albums/detikfinance/35.000-mw-II.jpg

       Indonesia adalah negara yang besar, memiliki luas wilayah ±1.919.000  dengan 17.504 pulau yang tersebar. Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia berada pada letak geografis yang strategis dengan diapit oleh 2 benua dan 2 samudera. Berada pada lempeng aktif dengan banyak gunung berapi membuat Indonesia memiliki sumber daya alam dengan jumlah besar. Cadangan gas alam yang mencapai 185,8 triliun kaki kubik sekitar (1,5% cadangan dunia), cadangan batu bara 5,7 miliar ton (sekitar 3% cadangan dunia), panas bumi 27.000 MW (sekitar 40% cadangan dunia), minyak bumi 8,6 miliar barel (1% cadangan dunia) [1].
 
       Dengan cadangan yang sebanyak itu Indonesia pada tahun 2015 memproduksi sekitar 225 TWH (Terra Watt per Hour) [2], sedangkan proyeksi kebutuhan listrik sebesar 36.787 MW. Kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, bahkan diproyeksikan pada 5 tahun kedepan dibutuhkan tambahan produksi sekitar 35.000 MW [3]. Kebutuhan ini diprediksi karena berkembangnya ekonomi, kebutuhan, dan untuk pemerataan listrik.
 
       Sejak era Jokowi-JK, pembangunan infrastruktur sangat diutamakan karena dianggap sebagai dasar untuk pertumbuhan kesejahteraan dan ekonomi. Selain itu pembangunan yang merata pun dimulai dari pembangunan waduk, bandara, pelabuhan, kereta api dan lain sebagainya. Untuk menyokong pembangunan infrastruktur tersebut pastinya dibutuhkan pasokan energi listrik yang besar. Oleh karena itu dicanangkanlah proyek 35.000 MW.
 
       Proyek 35.000 MW ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Indonesia dalam 5 tahun ke depan. Saat ini, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia baru 50.000 MW sedangkan pada tahun 2019 kemungkinan kebutuhan listrik mencapai 70.000-80.000 MW. Dalam proyek ini 10.681 MW akan dikerjakan oleh PLN, dan 25.904 MW dikerjakan oleh swasta [4].
 
       Megaproyek ini memiliki beberapa keuntungan yaitu diperkirakan dapat menyerap sekitar 650.000 tenaga kerja langsung, 3 juta tenaga kerja tidak langsung, dan 20 juta orang mendapatkan manfaat ekonomi langsung. Selain itu menggunakan komponen lokal 40% (setara dengan 440 triliun rupiah), peningkatan konsumsi batubara 80-90 juta/tahun, dan mendongkrak permintaan baru gas sekitar 1.100 BBTUD (Billion British thermal Unit per Day). Total kebutuhan dana dalam proyek ini sekitar 132.155 miliar USD. Proyek besar ini diharapkan dapat meningkatkan rasio elektrifikasi sebesar 97% pada tahun 2019. [5].
 
       Dimulai sejak bulan Mei tahun 2015, sudah banyak investor yang menyanggupi penyelesaian beberapa proyek. Bahkan di Gorontalo, pada Februari 2016 listrik sudah bisa dialirkan menuju rumah warga. Dengan masuknya listrik sekitar 50 MW akan meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 84,4% [6]. Juga di salah satu investor pembangkit listrik geothermal menyanggupi pembangunan di NTT yang diperkirakan akan selesai pada akhir tahun 2019. Pembangkit listrik yang sudah dimulai oleh pihak PLN yaitu di provinsi Banten, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sumatera Utara, dan wilayah perbatasan dengan total ada 8 proyek dan yang akan dilaksanakan sekitar 27 proyek. Sedangkan yang sudah dimulai oleh pihak swasta sekitar 21 proyek dan tersisa 53 proyek dengan hanya 14 proyek yang dilakukan di Pulau Jawa [7].
 
       Sayangnya, sekitar 60% (21.000 MW) dari total 35.000 megawatt pembangkit listrik akan dibangun di wilayah Jawa dan Bali, wilayah Sumatera akan kebagian 9061 MW (25,5%),  Sulawesi mendapatkan jatah sebesar 2574 MW (7.2%), sedangkan wilayah Kalimantan akan mendapatkan 1881 MW (5.3%), sementara itu wilayah Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, masing-masing hanya akan mendapatkan 665 MW (1.9% ),  317 MW (0.9%), dan 241 MW (0.7%) [8]. Pada proyek ini juga, energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan hanya mendapatkan bagian sekitar 25% dari total proyek yakni sekitar 8.750 MW [9]. Selain itu masalah izin yang berbelit dan masalah klasik yaitu pembebasan lahan menjadi penghambat proses.
 
       Proyek ini kemungkinan memang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pulau. Pada permasalahan EBT bisa disebabkan biaya yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan yang masih cenderung mahal. Selain itu pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan tidak menghasilkan listrik yang lebih besar dari energi fosil, sedangkan saat ini kebutuhan pasokan listrik sangat besar. Mungkin kedepannya energi baru terbarukan akan mulai banyak dibangun secara bertahap.
 
       Kita berharap proyek ini bukanlah sekedar megaproyek yang manis diawal, tetapi bermanfaat untuk semua rakyat Indonesia. Semoga proyek ini dapat berjalan dengan baik, lancar dan transparan. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan pemerataan pasokan listrik di berbagai daerah. Sehingga Indonesia tidak lagi “Jawasentris” tetapi menjadi “Indonesiasentris”.

SUMBER:
Previous
Next Post »
Thanks for your comment